IJTIHAD
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syafe’i (2010: 97) menyatakan bahwa ijtihad
menurut bahasa diambil dari kata al-jahd
atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan) dan ath-thaqat (kesanggupan). Mubarok (2005:
3) definisi ijtihad menurut bahasa
yang disusun oleh Ahmad Ibn Ahmad Ibn Ali al-Muqri al-Fayumi masih bersifat
umum, yaitu pengerahan kemampuan dalam rangka menyelesaikan pekerjaan atau
persoalan. Shiddieqy (1967: 200) sedangkan ijtihad
menurut istilah adalah memberi segala daya kemampuan dalam usaha mengetahui
suatu hukum syara.
Nasrun mengatakan, “ijtihad
adalah tugas suci keagamaan yang bukan pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat
yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Untuk itu, para ulama
telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad” (Rusli, 1999: 87). Effendi
(2009: 249) Imam Syafi’i menyatakan ijtihad
berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis, dan untuk mengembangkan
prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran.
B. Masalah
Dari uraian di atas dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian ijtihad?
2. Apa syarat-syarat ijtihad?
3. Apa fungsi ijtihad?
C. Tujuan
Tujuan penulisan dan
pembahasan makalah ini, diantaranya:
1.
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami
pengertian ijtihad.
2.
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami
syarat-syarat ijtihad.
3.
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami fungsi ijtihad.
PEMBAHASAN
TEORI
A. Pengertian Ijtihad
Amiur mengatakan, “ijtihad
sebagai sebuah konsep yang menggambarkan usaha maksimal dalam penalaran,
sehingga menghasilkan pendapat pribadi yang orisinil, dalam perkembangannya
telah dibatasi dengan seperangkat pengertian” (Nuruddin, 1991: 51). Syafe’i
(2010: 97) menyatakan bahwa ijtihad
menurut bahasa diambil dari kata al-jahd
atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan) dan ath-thaqat (kesanggupan).
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Mubarok bahwa definisi ijtihad secara bahasa yang disusun oleh
Ahmad Ibn Ahmad Ibn Ali al-Muqri al-Fayumi yaitu pengerahan kemampuan dalam
rangka menyelesaikan pekerjaan atau persoalan, tanpa mempertimbangkan kualitas
(berat atau ringan) pekerjaan yang dilakukan atau persoalan yang diselesaikan.
Oleh karena itu, Muhammad Salam Madkur mencoba melakukan pembatasan ruang
lingkup ijtihad dengan mengubah arti ijtihad secara etimologi. Menurut
Muhammad Salam Madkur, arti ijtihad secara
etimologi adalah pengerahan kemampuan (mujtahid)
dalam menyelesaikan sesuatu yang berat (Mubarok, 2005: 3).
Khallaf (2003: 317) ijtihad menurut istlah ushul adalah mengerahkan segala
daya untuk menghasilkan hukum syara dari dalilnya yang rinci di antara dalil
syara. Ash Shiddieqy (1967: 200) ijtihad
menurut istilah ialah memberi segala daya kemampuan dan kesanggupan dalam usaha
mengetahui sesuatu hukum syara dengan
jalan dhan. Syafe’i (2010: 99)
sedangkan menurut ulama ushul fiqih, ijtihad
adalah aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara
dari dalil terperinci dalam syariat. Dengan kata lain, ijtihad merupakan pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk
memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara (agama). Dalam istilah inilah, ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad itu bisa dilakukan di bidang
fiqih. Al Rasyuni, (2006: 4) ijtihad
pada hakikatnya adalah istilah lain dari wahyu, maka bukan dikatakan ijtihad jika terhindar dari kesalahan dan
kekeliruan.
B.
Syarat-syarat Ijtihad
Rusli (1999: 87-94) ijtihad
adalah tugas suci keagamaan yang bukan pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat
yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Untuk itu, para ulama
telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut Al-syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat, yaitu pertama mengetahui
Al-Quran dan sunah, kedua mengetahui ijma,
sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijma. Ketiga, mengetahui bahasa Arab,
yang memungkinkannya menggali hukum dari Al-Quran dan sunah secara baik dan
benar. Keempat, mengetahui ilmu ushul fiqih
karena melalui ilmu inilah diketahui tentang dasar-dasar dan cara-cara
berijtihad. Kelima, mengetahui naiskh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan) agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum
yang telah mansukh, baik yang
terdapat dalam ayat-ayat atau hadis-hadis. Basyir (1996: 29-30) diantara banyak
persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan ijtihad, sebagaimana disebutkan oleh
para ulama dalam kitab-kitab ushul fiqihnya, yaitu:
1.
Memiliki
ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan
masalah hukum, dalam arti mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali
hukum.
2.
Memiliki
pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah
hukum, dalam arti sanggup membahas hadis-hadis tersebut untuk menggali hukum.
3.
Menguasai
seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukan oleh ijma, agar dalam menentukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan ijma.
4.
Memiliki
pengetahuan yang luas tentang qiyas,
dan dapat mempergunakannya untuk istinbath
hukum.
5.
Mengetahui
ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan
sanggup mempertanggung jawabkannya.
6.
Menguasai
bahasa Arab secara mendalam. Sebab Al-Quran dan sunah sebagai sumber asasi
hukum Islam, tersusun dalam gaya bahasa Arab yang sangat tinggi, di dalam
ketinggian dan keunikan gaya bahasanyalah letak kemukjizatan Al-Quran.
7.
Memiliki
pengetahuan mendalam tentang naiskh
mansukh dalam Al-Quran dan hadis, agar dalam menggali hukum tidak
mempergunakan ayat Al-Quran atau hadis Nabi yang telah di nasakh (hapus).
8.
Mengetahui
latar belakang turunnya ayat dan latar belakang suatu hadis, agar mampu
menggali hukum secara tepat.
9.
Mengetahui
sejarah para perawi hadis, agar dapat menilai suatu hadis, apakah dapat
diterima ataukah tidak. Sebab penentuan derajat atau nilai suatu hadis
bergantung pada ihwal perawi, yang lazim disebut sanad hadis. Tanpa mengetahui sejarah para perawi hadis, tidak
mungkin ta’dil dan tarjih (penyaringan) dapat dilakukan.
10.
Menguasai
kaidah-kaidah istinbath hukum (ushul
fiqih), hingga mampu mengolah dan menganalisis dalil-dalil hukum untuk
menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan digali hukumnya.
Saebani (2008: 194-195) ra’yu digunakan sepenuhnya ketika
berijtihad, sedangkan porsi ijtihad sebagai metode istinbath hukum dan penerapannya terdapat dalam dua masalah, yaitu
masalah yang ada terdapat dalam dalil Al-Quran dan masalah yang tidak ada sama
sekali dalam dalil Al-Quran. Karena pentingnya ra’yu dalam ijtihad,
ulama ahli ushul dan fuqaha sepakat untuk menetapkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh orang yang akan berijtihad, yaitu:
1.
Mengetahui
isi Al-Quran dengan seluk beluknya, baik dari sisi pengetahuan bahasanya atau makna-makna
yang terkandung di dalamnya.
2.
Mengetahui
As-Sunah, mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang hadis, sanad, rawi, dan
matan.
3.
Mengetahui
seluruh masalah yang hukumnya telah ditetapkan oleh ijma.
4.
Memahami dan
mampu menerapkan metode istinbath.
5.
Mengetahui
ilmu bahasa Arab dan seluk beluknya.
6.
Mengetahui
kaidah-kaidah hukum Islam.
7.
Mengetahui
prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.
8.
Memiliki
akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.
C. Fungsi Ijtihad
Effendi (2009: 249-250) selain
pentingnya kedudukan ijtihad di samping Al-Quran dan sunah Rasulullah, ijtihad
juga berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke
tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi
ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat
dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan
prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan sunah seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yag disebut
terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Al-Quran dan sunah
adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat
terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas
jumlahnya.
PENUTUP
SIMPULAN
Syafe’i (2010: 97) menyatakan bahwa ijtihad
menurut bahasa diambil dari kata al-jahd
atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan) dan ath-thaqat (kesanggupan). Shiddieqy
(1967: 200) ijtihad menurut istilah
ialah memberi segala daya kemampuan dan kesanggupan dalam usaha mengetahui
sesuatu hukum syara dengan jalan dhan. Syafe’i (2010: 99) sedangkan
menurut ulama ushul fiqih, ijtihad
adalah aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara
dari dalil terperinci dalam syariat
Rusli (1999: 87-94) para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi
seseorang yang akan melakukan ijtihad.
Menurut Al-syaukani, untuk dapat
melakukan ijtihad hukum diperlukan
lima syarat, yaitu pertama mengetahui Al-Quran dan sunah, kedua mengetahui ijma, ketiga mengetahui bahasa Arab,
keempat mengetahui ilmu ushul fiqih, dan kelima mengetahui naiskh (yang menghapuskan) dan mansukh
(yang dihapuskan). Effendi (2009: 249) ijtihad
memiliki fungsi untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke
tingkat hadis mutawatir dan untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang
terdapat dalam Al-Quran dan sunah.
ANALISIS
Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga. Ijtihad adalah pengerahan
segala kemampuan dan kesanggupan untuk mencapai suatu hukum syara. Dalam
melakukan ijtihad ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu mengetahui
Al-Quran dan as-sunah lebih dalam, sehingga tidak ada keraguan untuk menetapkan
sumber hukum yang berlandaskan Al-Quran dan as-sunah.
Ijtihad memiliki fungsi untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak
sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya
memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak
langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk
mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan sunah
seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yag disebut
terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Al-Quran dan sunah
adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat
terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas
jumlahnya.
No comments :
Post a Comment