(Sebuah Catatan
Atas Sebuah Penjelasan)
Ilmu
hadits adalah ilmu yang sangat mulia dalam Islam. Orang-orang yang bergelut di
dalamnya telah menyandang keharuman tersendiri dalam sejarah. Sebutlah misal
seperti : Malik bin Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal,
Al-Auza’i, ‘Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Ibnul-Mubarak, Al-Bukhari,
Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, An-Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir, Ibnu
Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Ibnu Rajab, Asy-Syaukani, Al-Mubarakfury, Ahmad
Syakir, dan lainnya yang tetap berlanjut sampai saat ini. Merekalah
Ashhaabul-Hadits (para ahli hadits). Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan
pengakuan bahwa sebagai penghulu/pemimpin Al-Firqatun-Najiyyah (Golongan
yang Selamat). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم وآله وسلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما هي تلك الفرقة قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي. وفي لفظ : وهي الجماعة
Dari Anas bin Malik ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Akan
terpecah umat ini menjadi tujuhpuluh tiga kelompok yang kesemuanya masuk neraka
kecuali satu”. Para shahabat bertanya : “Siapa mereka wahai Rasulullah ?”.
Beliau menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang kondisinya seperti
kondisiku dan para shahabatku di hari ini”. [HR. Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghiir
no. 724].
Dalam lain riwayat beiau besabda : “Dan
ia adalah Al-Jama’ah” [HR. Abu Dawud no. 4597, Ahmad 4/102 no. 16979 dari
shahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan].[2]
Satu golongan/kelompok itulah Al-Firqatun-Najiyyah
(sebagaimana disebut oleh banyak ulama). Syaikh Abdul-Qadir Al-Jailani berkata
dalam kitab Al-Ghunyah :
أما الفرقة الناجية فهي أهل السنة و الجماعة ، و أهل السنة لا اسم لهم إلا اسم واحد و هو أصحاب الحديث
“Adapun golongan yang selamat yaitu
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dan Ahlus-Sunnah, tidak ada nama lain bagi mereka
kecuali satu nama, yaitu Ashhaabul-Hadiits (para Ahli-Hadits)” [3].
Ashhaabul-Hadits disebut juga Ath-Thaifah
Al-Manshurah, yaitu kelompok yang mendapatkan pertolongan (dari Allah)
dalam menegakkan al-haq sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك
“Akan selalu
ada sekelompok dari umatku yang memperjuangkan al-haq, tidak membahayakan
mereka orang yang menghinakan mereka hingga datang keputusan Allah (yaitu
datangnya hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu” [HR. Muslim no. 1920].
Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya
tentang hadits di atas beliau menjawab :
ان لم تكن هذه الطائفة المنصورة أصحاب الحديث فلا أدري من هم
“Apabila kelompok yang mendapatkan
pertolongan itu bukanlah Ashhaabul-Hadits, maka aku tidak tahu siapakah
mereka…” [Ma’rifatu ‘Ulumil-Hadiits oleh Al-Hakim An-Naisaburi hal. 1
dengan sanad shahih] [4].
Ashhaabul-Hadits adalah orang-orang yang paling mengerti maksud dan
pengamalan sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan
mereka lah orang yang telah menghabiskan waktu dan usianya untuk mempelajari
hadits-hadits, memilah antara yang shahih dan yang dla’if, serta kemudian
memberikan penjelasan kandungannya..
Bila ada permasalahan yang berkaitan
dengan hadits dan sunnah Nabi, tentu Ashhaabul-Hadits (para ahli hadits)
lah [5] yang paling mengetahui. Bukan selainnya, seperti dari kalangan ahlul-kalam,
ahlul-ushul, dan yang semisal. Imam Ibnul-Qayyim mengatakan :
وكذلك لا يعتبر في الإجماع على صدق الحديث وعدم صدقه إلا أهل العلم بالحديث وطرقه وعلله ، وهم علماء الحديث ، العالمون بأحوال نبيهم ، الضابطون لأقواله وأفعاله ، المعتنون بها أشد من عناية المقلدين لأقوال متبوعيهم ، فكما أن العلم بالتواتر ينقسم إلى عام وخاص ، فيتواتر عند الخاصة ما لا يكون معلوماً لغيرهم ، فضلاً أن يتواتر عندهم ، فأهل الحديث لشدة عنايتهم بسنة نبيهم ، وضبطهم لأقواله وأفعاله وأحواله يعلمون من ذلك علماً لا يشكون فيه مما لا شعور لغيرهم به البتة
“….Demikian pula dalam perkara yang
berkaitan dengan membenarkan sebuah hadits atau tidak, mesti disepakati oleh
para ahli hadits yang lebih memahami jalur periwayatan dan ‘illat-nya.
Mereka itu adalah ulama hadits, karena mereka mengetahui keadaan nabi mereka,
yang senantiasa memelihara sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau, dan
memiliki perhatian lebih terhadap periwayatan dibandingkan mereka yang masih
ber-taqlid pada perkataan-perkataan yang mereka ikuti. Sebagaimana ilmu
pengetahuan itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu khusus dan ilmu umum.
Maka ada ilmu yang diyakini oleh orang khusus dimana tidak diketahui oleh orang
lain, apalagi diyakini. Dan Ahlul-Hadits dengan perhatian mereka yang
lebih kepada sunnah Nabi mereka, pemeliharaan mereka atas sabda-sabda dan
perbuatan-perbuatan beliau; mereka mengetahui permasalahan ini dan tidak
meragukannya. (Dan tentu mereka sangat berbeda) dibandingkan orang-orang selain
mereka yang tidak mempunyai perasaan perhatian kepada sunnah Nabi sebagaimana
mereka” [Mukhtashar Ash-Shawaaiqul-Mursalah juz 2 hal. 373 melalui
perantara kitab Al-Hadits Hujjatun binafsihi fil-‘Aqaaid wal-Ahkaam hal.
70-71; Maktabah Sahab].
Hadits Ahad dan
Hadits Mutawatir
Pembagian hadits mutawatir dan
hadits ahad – dalam ilmu hadits – adalah berkaitan dengan hadits dilihat
dari segi sampainya kepada kita.[6]) [7]) Secara
bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawaatur yang artinya
berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan
oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari
melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut
akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan
hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat
diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”. Ada empat
syarat satu hadits dikatakan mutawatir :
1.
Diriwayatkan
oleh jumlah yang banyak.
2.
Jumlah yang
banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3.
Menurut
kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta [8]
4.
Sandaran hadits
mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah
mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh,
atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal,
maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Menurut jumhur ulama, tidak ada
batasan tertentu dalam jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir.
Bisa dikatakan, sifat kemutawatiran itu nisbi yang berbeda antara satu
ulama dengan ulama lainnya. Namun itu bukanlah menjadi satu permasalahan yang
berarti bagi ulama Ahli Hadits karena yang terpenting bagi mereka adalah
keshahihan dari riwayat. Hadits mutawatir ini dibagi menjadi dua, yaitu :
1.
Mutawatir
Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknanya
mutawatir. Misalnya hadits : {من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار} ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku
(Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat
duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70
orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
2.
Mutawatir
Ma’nawy adalah maknanya yang mutawatir
sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan
ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits
tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut
berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai
derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan
dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan
ketika berdo’a. [lihat Mabaahits fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Manna’
Al-Qaththan, Maktabah Wahbah, Cet. 4].
Ahad menurut bahasa mempunyai arti
“satu”. Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh
satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang
belum memenuhi syarat-syarat mutawatir”. Hadits ahad terbagi menjadi 3
macam, yaitu : Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.
Masyhur (atau juga dikenal dengan nama hadits Mustafidh)
menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah, Hadits Masyhur
adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap
thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir”.[9] Contohnya, sebuah
hadits yang berbunyi :
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
”Sesungguhnya
Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan
tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah
tidak terdapat seorang yang ‘alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai
pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan
menyesatkan” [HR. Bukhari,
Muslim, dan At-Tirmidzi].
‘Aziz secara bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah,
atau yang kuat. Hadts ’Aziiz menurut istilah ilmu hadits adalah : “Suatu
hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya”.
Contohnya : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين
”Tidaklah
beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya
daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia” [HR. Al-Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak
sama].
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya.
Sedangkan Hadits Gharib secara istilah adalah : “Hadits yang hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”. Dan tidak dipersyaratkan
periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah)
periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan
bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak
mengubah statusnya (sebagai hadits gharib). Sebagian ulama’ lain
menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi
dua :
1.
Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu
bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad
(shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa
setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh
Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh ‘Alqamah.
Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari ‘Alqamah. Kemudian Yahya bin
Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia
diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib
muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya
sendiri meriwayatkan sebuah hadits..
1.
Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu apabila
ke-gharib-an terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal
sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang
perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini
diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi
tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu
‘anhu : ”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah
dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya” [HR. Al-Bukhari dan
Muslim]. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri.
Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya
terjadi pada perawi tertentu. [10]
Itulah garis besar penjelasan hadits
dilihat dari segi sampainya kepada kita. Pembagian antara hadits mutawatir dan
ahad sama sekali bukanlah masuk dalam ranah diterima atau ditolaknya satu
khabar/hadits.
Antara Dlarury
dan Nadhary
Telah disinggung sebelumnya bahwa
pembagian hadits mutawatir dan ahad bukanlah dilihat dari segi penerimaan atau
penolakannya. Para ulama Ahlul-Hadits telah sepakat bahwa diterima atau
ditolaknya satu hadits berdasarkan validitas (keshahihan) hadits. Jika hadits
itu shahih (atau hasan) maka diterima (maqbul), dan jika hadits itu
dla’if (apalagi maudlu’/palsu dan laa ashla lahu/tidak ada asalnya) maka
ditolak (mardud). Adapun hadits mutawatir merupakan bagian dari hadits maqbul;
yang tidak berbeda secara makna dengan hadits shahih. Dengan demikian, dengan
bahasa sederhana klasifikasi diterima atau ditolaknya suatu hadits dapat
dirinci sebagai berikut :
1.
Hadits Maqbul
(Diterima) : Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad Shahih (atau Hasan).
2.
Hadits Mardud
(Ditolak) : Hadits Dla’if, Maudlu’, dan saudara-saudaranya.
Di sini kita tidak akan menyinggung
Hadits Mardud. Kita akan fokus pada Hadits Maqbul, yang terdiri
dari hadits mutawatir dan hadits ahad shahih.
Para ulama telah menjelaskan bahwa
hadits mutawatir memberikan ilmu yang bersifat dlarury (aksiomatik).
Maksudnya, hadits mutawatir ini mengandung ilmu yang harus diyakini yang
mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak
perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya
Makkah dan Madinah berada di Saudi Arabia, matahari itu panas, es itu dingin,
dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir
adalah qath’i tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang
keadaan para perawinya .
Adapun hadits ahad (yang shahih),
maka ia memberikan ilmu yang bersifat nadhary. Maksudnya, satu hadits
ahad bisa memberikan satu ilmu setelah dilakukan pengkajian dan penelitian
dengan seksama. Jika memang setelah diteliti membuktikan bahwa hadits tersebut
shahih, dibawakan oleh para perawi terpercaya, dan selamat dan ‘illat (cacat
tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz
(kejanggalan)[11], maka hadits tersebut adalah diterima lagi mengandung ilmu
(keyakinan). Hadits ahad bisa menjadi semakin terangkat jika mempunyai penguat
(qarinah) antara lain (ditulis secara ringkas) :
-
Hadits ahad tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahih-nya.
-
Hadits masyhur yang memiliki banyak jalur sanad yang kesemua jalur
tersebut berbeda-beda dan di dalamnya tidak ada perawi-perawi yang lemah serta
selamat dari illat hadits.
-
Hadits yang diriwayatkan secara berkelanjutan (musalsal) oleh para ulama
hadits yang terpercaya dan teliti, sehingga hadits tersebut tidak asing lagi.
Hadits-hadits ahad yang mempunyai
qarinah sebagaimana di atas, maka kedudukannya adalah kuat lagi qath’i (pasti).
Al-Hafidh Ibnu Shalah berkata :
أهل الحديث كثيرا صحيح متفق عليه يطلقون ذلك ويعنون به اتفاق البخاري ومسلم لا اتفاق الأمة عليه لكن اتفاق الأئمة عليه لازم من ذلك وحاصل معه لاتفاق الأمة على تلقي ما اتفقا عليه بالقبول وهذا القسم جميعه مقطوع بصحته والعلم اليقيني النظري واقع به خلافا لقول من نفى ذلك محتجا بأنه لا يفيد في أصله إلا الظن
“Para ahli hadits sering menyebut
hadits-hadits Al-Bukhari dan Muslim dengan (shahih muttafaq ‘alaih).
Maksudnya adalah yang disepakati oleh keduanya saja, bukan disepakati oleh umat
secara keseluruhan. Akan tetapi, kesepakatan kaum muslimin sejalan dengan
kesepakatan Al-Bukhari dan Muslim karena mereka sepakat menerima hadits-hadits
yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim. Semua hadits yang disepakati oleh
Al-Bukhari dan Muslim adalah qath’i keshahihannya dan mengandung ilmu
yaqiny nadhary. Hal ini berbeda dengan orang yang menafikkkannya dimana
mereka berhujjah bahwa hadits-hadits tersebut tidak menghasilkan sesuatu
kecuali dhann ” [‘Ulumul-Hadits hal. 8-9, Maktabah Sahab].
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
berkata :
والخَبَرُ المُحْتَفُّ بالقَرائِن أنواعٌ : مِنْها مَا أَخْرَجَهُ الشَّيْخانِ في صَحيحَيْهِما ممَّا لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ المتواتِرِ، فإِنَّهُ احْتُفَّتْ بِهِ قرائِنُ ؛ منها : جَلالتُهُما في هذا الشَّأْنِ . وتَقَدُّمُهُما في تَمْييزِ الصَّحيحِ على غيرِهما . وتَلَقِّي العُلماءِ كِتابَيْهِما بالقَبُولِ ، وهذا التَّلقِّي وحدَهُ أَقوى في إِفادةِ العلمِ مِن مُجَرَّدِ كَثْرَةِ الطُّرُقِ القاصرةِ عَنِ التَّواتُرِ
“Hadits yang mengandung ilmu yaqin
karena qarinah ada beberapa macam. Salah satunya apabila diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya yang tidak mencapai derajat
mutawatir. Hadits ini mengandung ilmu yaqin karena : a) Kemuliaan
keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) dalam hadits; b) Keduanya adalah orang yang
terdahulu yang memisahkan hadits shahih; dan c) restu para ulama untuk menerima
kedua kitabnya. Restu ini saja lebih kuat untuk menjadikan haditsnya mengandung
ilmu yaqin daripada banyaknya jalan yang tidak mencapai mutawatir” [Nuzhatun-Nadhar
fii Taudliihi Nukhbatil-Fikar oleh Ibnu Hajar hal. 74].
Syaikh Ahmad Syakir (1309-1377 H)
[12] berkata : “…..bahwa hadits yang shahih bisa menjadi ilmu qath’i,
baik yang ada pada dua kitab shahih atau yang lainnya. Ilmu Yaqini ini
adalah ilmu nadhary burhany. Ilmu ini tidak diketahui kecuali oleh para
ulama yang menyelidiki atau meneliti dengan sangat mendalam tentang ilmu
hadits, yang mempunyai pengetahuan yang banyak tentang kondisi para perawi dan
kelemahan-kelemahannya…” [Al-Ba’itsul-Hatsits hal. 39].
Inilah yang disebut dengan ilmu
dlarury dan ilmu nadhary sebagaimana dijelaskan para ulama. Intinya,
ilmu dlarury dan ilmu nadhary tidaklah berbeda dalam konsekuensi
hukumnya. Dua-duanya wajib diyakini, diimani serta diamalkan; baik masalah
aqidah ataupun hukum. Itulah madzhab salaf Ashhaabul-Hadits dari
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Antara ‘Ilmu
Yaqin dan Dhann
Terdapat khilaf ‘ulama tentang
pembahasan : “Apakah hadits ahad menghasilkan ilmu yaqini atau dhann
?”. Pembahasan ini menghasilkan khilaf yang banyak dan polemik yang panjang.
Ada sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Ustadz Abu Hamzah A. Hasan
Bashari yang berjudul Khabar Ahad ‘indal-Ushuliyyin [13] di bawah
bimbingan Dr. Ahmad Al-Khatm As-Sudani Al-Ushuli yang dilakukan pada tahun 1413
di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud Jakarta (LIPIA) terkait dengan bahasan
ini. Secara garis besar dijabarkan sebagai berikut :[14]
Ada tiga pendapat mengenai masalah
ini :
1.
Hadits ahad
memberikan makna qath’i (pasti) dan ilmu dlarury secara mutlak,
baik yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, atau yang lainnya.
Ini adalah madzhab Dawud Adh-Dhahiri
(200-270 H), Husain Al-Karabisi (w. 245 H), Harits Al-Muhasibi (w. 243 H), dan
Imam Malik (menurut riwayat Ibnu Khuwaiz Mindad). Dan inilah yang dipilih oleh
Ibnu Hazm (384-456 H) dimana ia mengatakan
أن خبر الواحد العدل عن مثله إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يوجب العلم والعمل معا
“Bahwasannya khabar wahid
yang (dibawakan oleh perawi) ‘adil dari orang semisal sampai kepada Rasulullah shallallaahu
‘alahi wasallam mewajibkan ilmu dan ‘amal sekaligus” [Al-Ihkaam fii
Ushuulil-Ahkaam oleh Ibnu Hazm ; Maktabah Al-Misykah].
1.
Hadits ahad
adalah qath’i keshahihannya dan menghasilkan ilmu jika disertai
qarinah-qarinah.
Adapun qarinah-qarinah-nya
adalah sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan sebagian ulama lain menambahkan
bahwa hadits yang shahih menurut syarat Al-Bukhari-Muslim juga qath’i
meskipun tidak dikeluarkan oleh keduanya. Ini adalah pendapat dari Abu Ishaq
Asy-Syirazi (343-376 H), Abu Hamid Al-Isfirayini (344-406 H), Qadli Abu Thibb
(w. 308 H) dari kalangan Syafi’iyyah; As-Sarkhasi (302-494 H) dari Hanafiyyah;
Qadli Abdul-Wahhab (362-422 H) dari Malikiyyah; Abu Ya’la (380-458 H), Abu
Al-Khaththab (432-510 H), Ibnu Az-Zaghuni (455-527 H) dari Hanabilah; Ibnu
Furak Asy-Syafi’i; seluruh ahli hadits (terlalu banyak untuk disebutkan); dan
ini merupakan madzhab salaf secara keseluruhan.
1.
Hadits ahad tidak
memberikan makna qath’i , akan tetapi dhanni tsubut secara
mutlak.
Ini adalah madzhab masyhur dari
kelompok Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazillah. Lalu diikuti oleh kelompok
Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan
mayoritas Malikiyyah [15]. Diantaranya Ar-Razi (544-606 H), Al-Ghazali (405-505
H), Al-Juwaini (w. 478 H), dan Ibnu ‘Abdis-Salaam (577-660 H). Dan inilah yang
dikuatkan oleh An-Nawawi (631-670 H).
Itulah garis besar perbedaan
pendapat seputar pembahasan apakah hadits ahad menghasilkan ilmu yaqin
atau dhann. Penyebutan khilaf di atas meliputi khilaf yang terjadi pada
kalangan Ahlus-Sunah ataupun selainnya (Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Syi’ah,
Khawarij, dan Mu’tazillah).
Perbedaan pendapat di kalangan
Ahlus-Sunnah dan/atau Ahli Hadits mengenai kekuatan khabar/hadits ahad dapat
dikompromikan. Sebab seluruhnya – kecuali Khawarij dan Mu’tazillah – bersepakat
bahwa hadits ahad wajib diamalkan. Titik perbedaannya adalah sebagaimana
dikatakan oleh Asy-Syaukani (setelah beliau menyebutkan berbagai khilaf
permasalahan di atas) :
واعلم أن الخلاف الذي ذكرناه في أول هذا البحث من إفادة خبر الآحاد الظن أو العلم مقيد بما إذا كان خبر واحد لم ينضم إليه ما يقويه ، وأما إذا انضم إليه ما يقويه أو كان مشهوراً أو مستفيضاً فلا يجري فيه الخلاف المذكور. ولا نزاع في أن خبر الواحد إذا وقع الإجماع على العمل بمقتضاه فإنه يفيد العلم لأن الإجماع عليه قد صيره من المعلوم صدقه وهكذا خبر الواحد إذا تلقته الأمة بالقبول فكانوا بين عامل به ومتأول له ومن هذا القسم أحاديث صحيحي البخاري ومسلم فإن الأمة تلقت ما فيهما بالقبول ومن لم يعمل بالبعض من ذلك فقد أوله والتأويل فرع القبول……
”Ketahuilah, perbedaan pendapat yang
kami sebutkan di awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberikan
informasi dhann atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan jika khabar ahad
ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang hadits menguatkannya,
atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku perbedaan
pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa hadits ahad itu,
apabila telah disepakati bulat (ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan
konsekuensinya, maka ia memberikan ilmu (keyakinan), karena ijma’ itu telah
menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya. Begitu pula
hadits ahad yang diterima oleh umat Islam, diantara mereka ada yang mengamalkan
hadits itu dan ada pula yang men-ta’wil-kannya. Yang termasuk dalam
jenis hadits ini adalah hadits-hadits yang terdapat dalam dua kitab shahih –
Al-Bukhari dan Muslim – karena kaum muslimin telah sepakat menerima
hadits-hadits yang tercantum dalam kedua kitab ini. Di antara mereka yang tidak
mengamalkan sebagian hadits-hadits tersebut, maka mereka men-ta’wil-kannya.
Dan ta’wil adalah termasuk bentuk dari penerimaan ……” [Irsyadul-Fuhul
oleh Imam Asy-Syaukani halaman 114 – Maktabah Sahab].
Kesimpulan di point ini, secara umum
hadits ahad itu mempunyai karakter memberikan dhann, akan tetapi ucapan dhanniyyatul-hadits
tidak bermakna lagi setelah hadis itu benar-benar dinyatakan shahih dan
diterima oleh para ulama ahli hadits. Sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk
menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama terhadapnya telah menghilangkan
seluruhmakna dhann. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan keyakinan
atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat nadhari, artinya didapat setelah
penelitian oleh para ahlinya, bukan ilmu dlaruri (sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya).
Hadits Ahad
Tidak Boleh Digunakan dalam Masalah ‘Aqidah ?
Sebagaimana yang telah lalu, bahwa
peristilahan mutawatir dan ahad ini hanyalah sebatas pada pembahasan sampainya
khabar pada kita. Tidak masuk padanya pembahasan diterima atau tidaknya satu
hadits. Penerimaan satu hadits hanyalah terletak pada tingkat keshahihannya.
Jika shahih maka diterima, dan jika dla’if (lemah) maka ditolak. Pembagian
mutawatir dan ahad ini bermanfaat dalam pembahasan ta’arudl
(pertentangan) antara satu hadits dengan hadits lain. Jika ada satu hadits yang
dibawakan oleh satu orang perawi yang menyelisihi perawi lain yang lebih kuat
atau lebih banyak, maka hadits itu adalah lemah. Jika perawinya merupakan
perawi lemah lagi tidak tsiqah, maka haditsnya dinamakan hadits munkar.
Jika perawinya adalah tsiqah, maka haditsnya dinamakan hadits syadz.
Inilah yang dikenal oleh para ulama salaf ashhaabul-hadits.
Tidak ada pembedaan antara masalah
aqidah dan hukum dalam penerimaan hadits ahad yang shahih. Allah ta’ala telah
berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka”. [QS. Al-Ahzaab : 36].
Kalimat amran [أَمْراً] dalam ayat di atas adalah umum yang meliputi semua
perkara, baik masalah aqidah atau hukum, yang sampai pada kita melalui jalan
mutawatir ataupun ahad. Hal yang sama tercermin dalam firman Allah ta’a :
وَمَآ آتَاكُمُ الرّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُواْ
“Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah” [QS. Al-Hasyr :
7].
فَلْيَحْذَرِ الّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa
azab yang pedih” [QS. An-Nur :
63].
Ayat-ayat di atas (dan juga masih
banyak ayat yang lainnya) menunjukkan keumuman wajibnya menerima khabar yang
berisi perintah, larangan, aqidah, hukum, dan yang lainnya. Pengkhususan atas
pembedaan antara masalah aqidah dan hukum serta mutawatir dan ahad; sama sekali
tidak ditunjang dengan dalil yang kuat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam pernah mengutus satu orang (yang dalam segi periwayatan dinamakan
ahad) kepada satu negeri untuk menyampaikan masalah aqidah dan hukum
sebagaimana perkataan beliau ketika mengutus Mu’adz ke negeri Yaman :
إنك تأتي قوماً من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله ـ وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله ـ وأني رسول الله، فإن هم أطاعوك لذلك فأخبرهم أن الله فرض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة…….
“Sesungguhnya
kamu mendatangi suatu kaum yang berasal dari Ahli Kitab. Maka jadikanlah awal
dari apa yang kamu serukan kepada mereka adalah persaksian bahwa tiada tuhan
yang berhak disembah melainkan Allah – dalam lain riwayat : ajakan untuk
mentauhidkan Allah – dan bahwasannya aku adalah Rasulullah (utusan Allah). Jika
mereka mentaatimu, maka khabarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas
mereka lima shalat dalam sehari dan semalam…..” [Muttafaqun ‘alaih].
Hadits di atas mengandung satu
pelajaran bahwa penyampaian satu khabar oleh satu orang yang terpercaya
[16] adalah wajib untuk diterima. Khabar yang disampaikan oleh Mu’adz bin
Jabal dari Nabi kepada penduduk Yaman merupakan khabar yang berisi aqidah dan
hukum sekaligus.[17].
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata :
ولو جاز لأحد من الناس أن يقول في علم الخاصة أحمع المسلمون قديما وحديثا على تثبيت خبر الواحد والانتهاء إليه بأنه لم يعلم من فقهاء المسلمين أحد إلا وقد ثبته جاز لي ولكن أقول لم أحفظ عن فقهاء المسلمين اختلفوا في تثبيت خبر الواحد…..
“Seandainya diperbolehkan bagi
seseorang awam untuk mengatakan sesuatu dalam pembahasan ilmu khusus : ‘Kaum
muslimin telah bersepakat dulu dan sekarang atas tetapnya khabar wahid (hadits
ahad) dan berhenti di atasnya (yaitu menjadikannya hujjah)’; dimana ia
tidak mengetahui seorangpun dari fuqahaa kaum muslimin yang
menetapkannya, maka hal itu diperbolehkan menurutku [18]. Akan tetapi aku
katakan : “Tidaklah aku menghafal dari fuqahaa kaum muslimin bahwa
mereka telah berselisih pendapat dalam penetapan khabar ahad…….” [Ar-Risalah
oleh Imam Asy-Syafi’i, hal. 154; Maktabah Sahab]
فلا يجوز عندي عن عالم أن يثبت خبر واحد كثيرا ويحل به ويحرم ويرد مثله إلا من جهة أن يكون عنده حديث يخالفه أو يكون ما سمع من سمع منه أوثق عنده ممن حدثه خلافه أو يكون من حدثه ليس بحافظ أو يكون متهما عنده أو يتهم من فوقه ممن حدثه أو يكون الحديث محتملا معنيين فيتأول فيذهب إلى أحدهما دون الآخر
“Menurut pandanganku, tidak boleh
bagi seorang ulama untuk menetapkan banyak hadits ahad, kemudian ia
menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengannya, akan tetapi ia juga menolak
hadits sepertinya (dalam beberapa hal) kecuali jika ia memiliki hadits yang
bertolak belakang dengannya akan lebih kuat atau orang yang riwayatnya diambil
lebih tsiqah (terpercaya) baginya dari orang yang meriwayatkan kepadanya
dengan riwayat yang berbeda [19], atau orang yang meriwayatkannya bukan hafidh
(orang yang hafal hadits). Atau orang itu dicurigai/dituduh berdusta atau
perawi yang di atasnya tertuduh (berdusta) atau karena hadits itu mengandung
kemungkinan dua makna sehingga di-ta’wil dan salah satu maknanya
diambil”. [idem].
No comments:
Post a Comment