TUGAS :
“ STUDY ISLAM “
KETERKAIATAN ANTARA AQIDAH,
SYARIAH, DAN AKHLAK
DISUSUN
OLEH
:
BIOLOGI 1
v Sofyan : 13842050
v Hasmirah : 1384205014
v Indrayani : 13842050
v Kasmawati : 13842050
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Yayasan Perguruan Islam Maros (STKIP YAPIM)
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas
kehadirat Allah swt. Yang telah memberikan rahmat dan karunia yang
dilimpahkan-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Adapun yang menjadi judul makalah kami
adalah “Keterkaiatan antara aqidah,
syaraiah, dan akhlak” yang di dalamnya memuat tentang keterkaiatan
antara aqidah dan syriah, keterkaiatan antara aqidah dan akhlak, dan
keterkaiatan antara syariah dan akhlak.
Tujuan
saya menulis makalah ini yang utama untuk memenuhi tugas dari dosen
pembimbing saya ”MUSLIMIN S.Pd.,M.Pd”
dalam mata kuliah STUDY ISLAM .
Jika
dalam penulisan makalah terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan dalam
penulisan, maka kepada para pembaca, penulis memohon maaf sebesar-besarnya atas
koreksi-koreksi yang telah dilakukan. Hal tersebut semata-mata agar menjadi
suatu evaluasi dalam pembuatan makalah ini.
Mudah-mudahan
dengan adanya pembuatan makalah ini dapat memberikan manfaat berupa ilmu
pengetahuan yang baik bagi penulis maupun bagi para pembaca.
Maros, Maret 2015
Kelompok
4
Biologi
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Devenisi
Aqidah, Syariah, dan Akhlak 2
B. Keterkaitan
antara Aqidah, Syariah dan Akhlak 2
BAB III PENUTUP 9
A. Kesimpulan 9
B. Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam agama Islam terdapat tiga ajaran yang sangat
ditekankan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang harus diamalkan dan dibenarkan dalam
hati. Yaitu iman (akidah), Islam (syariat), dan ihsan (akhlak). Tetapi sekarang-sekarang
ini ada yang mengabaikan salah satu dari tiga hal ini. Sehingga kehidupannya
menjadi jauh dari agama.
Dasar ajaran Islam yang terdiri dari aqidah, syariah, dan akhlak sering
sekali dilupakan keterkaitannya. Contohnya: seseorang melaksanakan shalat,
berarti dia melakukan syariah. Tetapi shalat itu dilakukannya untuk membuat
kagum orang-orang di sekitarnya, berarti dia tidak melaksanakan aqidah. Karena
shalat itu dilakukannya bukan karena Allah SWT, maka shalat itu tidak
bermanfaat bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Alhasil, dia tidak
mendapatkan manfaat pada akhlaknya. Itulah yang menjadikan suatu perbuatan yang
seharusnya mendapat ganjaran pahala, tapi malah menjadi suatu kesia-siaan
karena tidak dilakukan semata-mata karena Allah.
Penyusunan makalah ini, penulis berharap dapat menegaskan kembali mengenai
kerangka dasar ajaran Islam yang terdiri dari: Aqidah, Syari’ah, dan akhlak
yang kian terlupakan. Di sini para penyusun akan menjelaskan
tentang hubungan antara ketiganya, sehingga kemantapan seorang mukmin akan
terjaga.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagiamana devenisi aqidah, syraih, dan
akhlak ?
2.
Bagaiamana keterkaitan antara akidah,
syariah, dan akhlak ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
menegetahui devenisi aqidah, syariah, dan akhlak.
2. Untuk
menegetahui keterkaitan antara aqidah, syariah, dan akhlak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Devenisi
Aqidah , Syariah, Dan Akhlak
v Devenisi
Aqidah : menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu yang
berarti ikatan, at-tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat,
dan ar-rabthu biquw-wah yang berarti mengikat dengan kuat. Sedangkan menurut
istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada
keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
v Devenisi
syariah : Secara etimologi syariah berarti aturan atau ketetapan yang Allah
perintahkan kepada hamba-hamba-Nya, seperti: puasa, shalat, haji, zakat dan
seluruh kebajikan. Syariat dalam istilah syar’i adalah hukum-hukum Allah yang
disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya, baik hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan
sunnah nabi Saw dari perkataan, perbuatan dan penetapan.
v Devenisi
akhlaq : Akhlaq berasal dari bahasa arab, yaitu jama’ dari kata “khuluq” (
خلوق ) secara bahasa kata ini memiliki arti perangai atau yang mencakup
diantaranya: sikap, prilaku, sopan, tabi’at, etika, karakter, kepribadian,
moral dll. Menurut istilah, akhlak artinya tingkah laku lahiriah yang diperbuat
oleh seseorang secara spontan sebagai manifestasi atau pencerminan, refleksi
dari jiwa , batin atau hati seseorang.
B. Hubungan
Aqidah , Syariah, dan Akhlak.
Menurut sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar diceritakan bahwa pernah
datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, yang kemudian ternyata orang
itu adalah malaikat Jibril, menanyakan tetang arti Iman (Aqidah), Islam
(Syariat) , dan Ihsan (Akhlak). Dan dalam dialog antara Rasulullah SAW dengan malaikat
Jibril itu, Rasulullah SAW memberikan pengertian tentang Iman, Islam, dan Ihsan
tersebut sebagai berikut.
·
Iman
(Aqidah) :
Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat serta engkau beriman kepada kadar (ketentuan
Tuhan) baik dan buruk.
·
Islam
(Syariat) :
Engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan dan
engkau pergi haji ke Baitullah jika engkau mampu pergi ke sana.
·
Ihsan
(akhlak) :
Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, tetapi jika engkau tidak
melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia selalu melihat engkau.
Ditinjau dari hadis di
atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antar ketiganya sangat erat
bagaikan sebuah pohon. Tidak dapat dipisahkan antara akar (Aqidah), batang
(Syariat), dan daun (Akhlak).
2. Keterkaitan Antara Aqidah, Syariah, Dan
Akhlak
a.
Hubungan
aqidah dengan syariat
Menurut Syekh Mahmud
Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah dan syariah menulis: Akidah
itu di dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang kemudian di atasnya
dibangun syariat. Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang dilahirkan oleh
akidah tersebut. Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat di dalam Islam,
melainkan karena adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan berkembang,
melainkan di bawah naungan akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa akidah laksana
gedung tanpa fondasi.
Jika syari'at disebut sendiri, maka
yang dimaksudkan adalah makna umum, yaitu agama Islam secara keseluruhan.
Sebaliknya, jika syari'at disebut bersama 'aqidah, maka yang dimaksudkan adalah
makna khusus, yaitu hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan dalam
masalah agama yang bukan 'aqidah (keyakinan).
Kalau seorang telah
mengakui percaya kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, dan telah mengakui pula
percaya kepada Rasul-rasul Utusan Tuhan, Niscaya dia bersiap-siap sebab dia
telah percaya bahwa kelak dia akan berjumpa dengan Tuhan. Niscaya dia
senantiasa berusaha di dalam hidup menempuh jalan lurus. Tak obahnya dengan
orang yang mengakui diri gagah berani, dia ingin membuktikan keberaniannya ke
medan perang. Seseorang yang mengakui dirinya dermawan, berusa mencari lobang
untuk menafkahkan harta bendanya kepada orang yang patut dibantu. Seorang yang
mengakui dirinya orang jujur, senantiasa menjaga supaya perkatannya jangan
bercampur bohong.
Dengan demikian, maka
'aqidah dan syari'at merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan.
Keyakinan inilah yang disebut dengan 'aqidah, dan amalan ini yang disebut
syari'at. Sehingga iman itu mencakup 'aqidah dan syari'at, karena memang iman
itu, jika disebutkan secara mutlak (sendirian) maka ia mencakup keyakinan dan
amalan.
b.
Hubungan
Aqidah dengan Akhlak
Akidah tanpa akhlak adalah seumpama sebatang pohon yang
tidak dapat dijadikan tempat berlindung di saat kepanasan dan tidak pula ada
buahnya yang dapat dipetik. Sebaliknya akhlak tanpa akidah hanya merupakan
layang-layang bagi benda yang tidak tetap, yang selalu bergerak.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa kesempurnaan iman
seseorang terletak pada kesempurnaan dan kebaikan akhlaknya. Sabda beliau: “ Orang
mukmin yang paling sempurna imannya ialah mereka yang paling bagus akhlaknya ”.
(HR. Muslim)
Dengan demikian, untuk
melihat kuat atau lemahnya iman dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak)
seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari imannya yang
ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai iman yang
kuat; dan jika perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman yang
lemah. Muhammad al-Gazali mengatakan,
iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedang iman yang lemah
mewujudkan akhlak yang buruk.
Nabi Muhammad SAW telah
menjelaskan bahwa iman yang kuat itu akan melahirkan perangai yang mulia dan
rusaknya akhlak berpangkal dari lemahnya iman. Orang yang berperangai tidak
baik dikatakan oleh Nabi sebagi orang yang kehilangan iman. Beliau bersabda :
الحياء
والايمان قرناء جميعا فاذا رفع احدهما رفع الاخر (رواه الكاريم)
”Malu dan iman itu keduanya
bergandengan, jika hilang salah satunya, maka hilang pula yang lain”. (HR.
Hakim)
Kalau kita perhatikan hadits di atas, nyatalah bahwa rasa
malu sangat berpautan dengan iman hingga boleh dikatakan bahwa tiap orang yang
beriman pastilah ia mempunyai rasa malu; dan jika ia tidak mempunyai rasa malu,
berarti tidak beriman atau lemah imannya.
Aqidah dengan seluruh cabangnya
tanpa akhlak adalah seumpama sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan tempat
berteduh dari panasnya , matahari, atau untuk berlindung dari hujan, dan tidak
ada pula buahnya yang dipetik . sebaliknya akhlak tanpa aqidah hanya merupakan
bayang-bayang bagi benda yang tidak tetap dan selalu bergerak. Allah menjadikan
keimanan (aqidah) sebagai dasar agama-Nya, ibadat (syariah) sebagai rukun
(tiangnya). Kedua hal inilah yang akan menimbulkan kesan baik kedalam jiwa dan
menjadi pokok tercapainya akhlak yang luhur.
Akidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia
mampu menciptakan kesadaran diri bagi manusia untuk berpegang teguh kepada
norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Keberadaan akhlak memiliki peranan
yang istimewa dalam akidah Islam.
Islam menganjurkan
setiap individu untuk berakhlak mulia, dan menjadikannya sebagai kewajiban di
atas pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar
ini, agama tidak memberikan wejangan akhlak semata, tanpa didasari rasa
tanggung jawab. Bahkan keberadaan akhlak, dianggap sebagai penyempurna
ajaran-ajarannya. Karena agama itu, tersusun dari akidah dan perilaku.
Sebagaimana yang termaktub dalam hadits berikut: dari Abu Hurairah ra,
Rasulullah SAW bersabda: “Orang Mukmin yang sempurna imannya adalah yang terbaik
budi pekertinya,” (HR. Tirmidzi).
Dari hadits di atas,
dapat disimpulkan bahwa akhlak itu harus berpijak pada keimanan. Iman tidak
cukup disimpan dalam hati, namun harus dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari
dalam bentuk akhlak yang baik.
Dengan demikian, untuk
melihat kuat atau lemahnya iman dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak)
seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari imannya yang
ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai iman yang
kuat; dan jika perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman yang
lemah.
Dengan demikian,
jelaslah bahwa akhlak yang baik , merupakan mata rantai dari keimanan
seseorang. Sebaliknya, akhlak yang dipandang buruk, adalah perilaku-perilaku
yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Walaupun, secara kasat mata perilaku
itu kelihatannya baik. Namun, jika titik tolaknya bukan karena iman, hal
tersebut tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah. Perbuatan itu, diibaratkan
seperti fatamorgana di gurun pasir.
c. Hubungan
syaraiah dan akhlak
Sebagai
bentuk perwujudan iman (Aqidah), akhlaq mesti berada dalam bingkai aturan
syari’ah Islam. Karena seperti dijelaskan diatas, akhlaq adalah bentuk ibadah
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan proses ibadah harus
dilakukan sesuai dengan aturan mekanisme yang ditetapkan syariah, agar
bernilai sebagai amal shalih. Syariah merupakan aturan mekanisme dalam
amal ibadah seseorang mukmin/muslim dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
swt. Melalui prantara syariah akan menghubungkan proses ibadah kita kepada
Allah. Suatu amal diluar aturan mekanisme ibadah tidak bernilai sebagai amal
shalih. Dan akhlaq menjadi sia-sia jika tidak berada didalam kerangka aturan
syariah. Jadi, syaria adalah syarat yang akan menentukan bernilai tidaknya
suatu amal ibadah.
Syariat menjadi standard ukuran yang menentukan apakah
suatu amal-perbuatan itu benar atau salah. Ketentuan syariah merupakan aturan
dan rambu-rambu yang berfungsi membatasi, mengatur dan menetapkan mana
perbuatan yang mesti dijalankan dan yang mesti ditinggalkan. Ketentuan hukum
pada syariat pada asasnya berisi tentang keharusan, larangan dan kewenangan
untuk memilih. Ketentuan ini meliputi wajib, sunnah/mandub, mubah (wenang),
makruh dan haram. Syariah memberi batasan-batasan terhadap akhlaq sehingga
praktik akhlaq tersebut berada didalam kerangka aturan yang benar tentang benar
dan salahnya suatu amal perbuatan (ibadah).
Jadi, jelas bahwa akhlaq tidak boleh
lepas dari batasan dan kendali syariat. Syariat menjadi bingkai dan praktik
akhlaq, atau aturan yang mengatasi dan mengendalikan akhlaq. Praktek akhlaq
tidak melebihi apalagi mengatasi syariah, tetapi akhlaq harus lahir sebagai
penguat dan penyempurna terhadap pelaksanaan syari’at. Sedangkan akhlaq yang
tidak menjadi penyempurna pelaksanaan syariat adalah perbuatan batal. Jadi,
kedudukan akhlaq adalah sebagai penguat dan penyempurna proses ibadah
seseorang.
Dengan demikian, syariah berfungsi
sebagai jalan yang akan menghantarkan seseorang kepada kesempurnaan akhlaq.
Sedangkan akhlaq adalah nilai-nilai keutamaan yang bisa menghantarkan seseorang
menuju tercapainya kesempurnaan keyakinan.
Sedangkan dalam Islam antara syariah
dan akhlaq adalah dua hal sangat terkait erat, dimana yang satu (yakni syariat)
menjadi dasar bagi yang kedua (akhlaq).
Bisa terjadi suatu pelaksana
kewajiban menjadi gugur nilainya karena tidak disertai dengan akhlaq. Seperti
kasus orang yang ber infak di jalan Allah tetapi ketika dalam menyerahkan
hartanya dilakukan sambil berkata-kata yang tidak baik, maka infak orang
tersebut disisi Allah tidak bernilai sedikitpun karena terhapus oleh akhlaknya
yang buruk. Meskipun dari segi aturan syariat ia telah melakukan kewajibannya
dengan benar, tetapi secara nilai, ia diterima sebagai amal ibadah di sisi
Allah swt.
Tetapi bukan berarti setiap
pelaksanaan syariat yang tidak dilakukan dengan akhlaq yang baik akan
menggugurkan nilai ibadah seseorang disisi Allah. Dalam kasus orang shalat
tidak tepat waktu , tidak menjadi gugur nilai shalatnya, tetapi hanya
mengurangi keutamaannya saja, atau mengurangi kekusyuan orang yang dibelakang
shofnya karena terganggu oleh gambar pada bajunya. Tetapi itu tidak
menggugurkan kewajiban shalatnya.
Ketetapan syariah adalah ketetapan
hukum yang bersifat mutlak dan harus wajib ditaati, sedangkan akhlaq adalah
nilai-nilai keutamaan yang akan menyempurnakan dan memperkuat
pelaksanaan dan penegakan syari’at tersebut. Jika dalam pelaksanaan syariat mesti sesuai
dengan ketentuan-ketentuan syariat itu sendiri, maka akhlak tidak boleh keluar
dari ketentuan-ketentuan tersebut. Meskipun bersifat keutamaan dan
penyempurnaan dalam melaksanakan syariat, ini tidak berarti setiap ummat dapat
melakukan atau tidak melakukannya. Karena seperti telah diterangkan diatas,
bahawa akhlaq adalah perwujudan dari prose amal ibadah, sehingga seseorang
ummat) dapat meningkatkan kualitas iman dan amal ibadahnya dengan akhlaq
tersebut.
Selain itu antara syariat dan akhlaq
dapat dibedakan dari bentuk dan jenis sanksi yang diberikan kepada pelanggar
atau mereka yang tidak menjalaninya. Sanksi bagi pelanggar syariat adalah
sesuatu yang jelas dan tegas sesuai dengan ketentuan dan ketetapan yang
tertuang dalam syariat itu sendiri, dan semua ketetapan yang tertuang dalam
syariat itu sendiri, dan semua ketetapan sanksi itu diputuskan oleh
lembaga yang berwenang (lembaga ‘ulil amri).
Sedangkan bagi yang tidak melakukan
akhlak hasanah, tida ada sanksi yang ditetapkan oleh syariat… sanksi terhadap
pelanggaran akhlak tidak ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, tetapi sanksi
ini bisa diberikan baik oleh dirinya sendiri atau oleh lingkungan sosial dan
masyarakatnya. Misalnya seorang yang menjalankan perintah puasa (saum
ramadhan) tetapi suka menggunjing dan menyakiti orang lain, berbohong,
tidak menjaga seluruh anggota badan dari perbuatan keji, ia tetap tidak bisa
dikenai sanksi hukum atas perbuatan-perbuatannya tersebut, tetapi hal itu akan
mengurangi (ganjaran) keutamaan dalam puasanya, disamping itu
akan mendapat sanksi oleh dirinya sendiri atau
lingkungan sekitarnya, seperti rasa penyesalan diri, gunjingan dari sesama,
dikucilkan dari pergaulan, dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kaitan
antara aqidah, syariat dan akhlak ialah bagaikan sebuah pohon, terdapat akar,
batang dan daun, yang saling menyatu bila satu hilang atau rusak maka akan
terjadi kehancuran untuk pohon tersebut.
Aqidah
merupakan pilar utama untuk menumbuhkan syariat dan akhlak. Tanpa aqidah,
syariat dan akhlak yang baik akan menjadi percuma, atau pun sebaliknya.
Rasulullah pernah menjelaskan tentang pegertian ketiganya ketika Jibril datang
kepadanya sebagai seorang manusia.
Rasulullah
sangat menekankan hubungan antara ketiganya. Tidak boleh dilepas satu sama
lain. Rasulullah menegaskan barang siapa meninggalkan syariat dan akhlak akan
kehilangan keimanannya, ataupun sebaliknya. Dan Rasulullah menegaskan untuk
memelihara ketiganya dalam tubuh seorang mukmin dan muslim.
B.
SARAN
Dalam penulisan makalah
ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan,
baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Asmaran As., M.A. 2002. Pengantar
Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mahmud Syaltut, 1966. Islam Aqidah wa Syariah, I, Kairo: Dar
al-Kalam.
Prof. Dr. Hamka. 1982. Iman dan Amal
Shaleh. Jakarta: Pustaka Panjimas
Muhammad al_Gazali, 1970, Khuluk
al-Muslim, Kuwait: Dar al Bayan.
_________________, 1970, Al Aqidah Islam,
Kuwait: Dar al Bayan.
Abdul Al-Maududi, t.t., Towards
Undestanding Islam, Jeddah: One Seeking Mercy of Allah
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1977, Al Islam
I, Jakarta: Bulan Bintang