Flaming Arrow Glitter Purple Winnie The Pooh Glitter

Monday, 13 April 2015

Makalah hubungan aqidah, syariah, dan akhlak



TUGAS  :
STUDY ISLAM “
KETERKAIATAN ANTARA AQIDAH,
SYARIAH, DAN AKHLAK
DISUSUN
OLEH :
BIOLOGI 1

v   Sofyan         :  13842050
v   Hasmirah    : 1384205014
v   Indrayani    : 13842050
v   Kasmawati  :  13842050

Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yayasan Perguruan Islam Maros (STKIP YAPIM)
2015



KATA PENGANTAR
            Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah swt. Yang telah memberikan rahmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
            Adapun yang menjadi judul makalah kami adalah “Keterkaiatan antara aqidah, syaraiah, dan akhlak” yang di dalamnya memuat tentang keterkaiatan antara aqidah dan syriah, keterkaiatan antara aqidah dan akhlak, dan keterkaiatan antara syariah dan akhlak.
            Tujuan saya  menulis makalah ini yang utama untuk memenuhi tugas dari dosen pembimbing saya MUSLIMIN S.Pd.,M.Pddalam mata kuliah STUDY ISLAM .
            Jika dalam penulisan makalah terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan dalam penulisan, maka kepada para pembaca, penulis memohon maaf sebesar-besarnya atas koreksi-koreksi yang telah dilakukan. Hal tersebut semata-mata agar menjadi suatu evaluasi dalam pembuatan makalah ini.
            Mudah-mudahan dengan adanya pembuatan makalah ini dapat memberikan manfaat berupa ilmu pengetahuan yang baik bagi penulis maupun bagi para pembaca.




Maros,  Maret 2015
Kelompok 4
Biologi 1







DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR                                                                                                             i
DAFTAR ISI                                                                                                                           ii
BAB     I     PENDAHULUAN                                                                                               1
A.    Latar Belakang                                                                                                    1
B.     Rumusan Masalah                                                                                              1
C.     Tujuan Penulisan                                                                                                1
BAB     II    PEMBAHASAN                                                                                                  2
A.    Devenisi Aqidah, Syariah, dan Akhlak                                                                2
B.     Keterkaitan antara Aqidah, Syariah dan Akhlak                                                  2
BAB     III  PENUTUP                                                                                                            9
A.    Kesimpulan                                                                                                         9
B.     Saran                                                                                                                    9
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                             10


 

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Dalam agama Islam terdapat tiga ajaran yang sangat ditekankan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang harus diamalkan dan dibenarkan dalam hati. Yaitu iman (akidah), Islam (syariat), dan ihsan (akhlak). Tetapi sekarang-sekarang ini ada yang mengabaikan salah satu dari tiga hal ini. Sehingga kehidupannya menjadi jauh dari agama.
Dasar ajaran Islam yang terdiri dari aqidah, syariah, dan akhlak sering sekali dilupakan keterkaitannya. Contohnya: seseorang melaksanakan shalat, berarti dia melakukan syariah. Tetapi shalat itu dilakukannya untuk membuat kagum orang-orang di sekitarnya, berarti dia tidak melaksanakan aqidah. Karena shalat itu dilakukannya bukan karena Allah SWT, maka shalat itu tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Alhasil, dia tidak mendapatkan manfaat pada akhlaknya. Itulah yang menjadikan suatu perbuatan yang seharusnya mendapat ganjaran pahala, tapi malah menjadi suatu kesia-siaan karena tidak dilakukan semata-mata karena Allah.
Penyusunan makalah ini, penulis berharap dapat menegaskan kembali mengenai kerangka dasar ajaran Islam yang terdiri dari: Aqidah, Syari’ah, dan akhlak yang kian terlupakan. Di sini para penyusun akan menjelaskan tentang hubungan antara ketiganya, sehingga kemantapan seorang mukmin akan terjaga.

B.    Rumusan Masalah
1.      Bagiamana devenisi aqidah, syraih, dan akhlak ?
2.      Bagaiamana keterkaitan antara akidah, syariah, dan akhlak ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk menegetahui devenisi aqidah, syariah, dan akhlak.
2.      Untuk menegetahui keterkaitan antara aqidah, syariah, dan akhlak.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Devenisi Aqidah , Syariah,  Dan Akhlak
v  Devenisi Aqidah : menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu yang berarti ikatan, at-tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, dan ar-rabthu biquw-wah yang berarti mengikat dengan kuat. Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
v  Devenisi syariah : Secara etimologi syariah berarti aturan atau ketetapan yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya, seperti: puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh kebajikan. Syariat dalam istilah syar’i adalah hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya, baik hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Saw dari perkataan, perbuatan dan penetapan.
v  Devenisi akhlaq : Akhlaq berasal dari bahasa arab, yaitu jama’ dari kata “khuluq” ( خلوق ) secara bahasa kata ini memiliki arti perangai atau yang mencakup diantaranya: sikap, prilaku, sopan, tabi’at, etika, karakter, kepribadian, moral dll. Menurut istilah, akhlak artinya tingkah laku lahiriah yang diperbuat oleh seseorang secara spontan sebagai manifestasi atau pencerminan, refleksi dari jiwa , batin atau hati seseorang.
B.       Hubungan Aqidah , Syariah, dan Akhlak.
Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar diceritakan bahwa pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, yang kemudian ternyata orang itu adalah malaikat Jibril, menanyakan tetang arti Iman (Aqidah), Islam (Syariat) , dan Ihsan (Akhlak). Dan dalam dialog antara Rasulullah SAW dengan malaikat Jibril itu, Rasulullah SAW memberikan pengertian tentang Iman, Islam, dan Ihsan tersebut sebagai berikut.
·          Iman (Aqidah)  : Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat serta engkau beriman kepada kadar (ketentuan Tuhan) baik dan buruk.
·          Islam (Syariat) : Engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan dan engkau pergi haji ke Baitullah jika engkau mampu pergi ke sana.
·          Ihsan (akhlak) : Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, tetapi jika engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia selalu melihat engkau.
           
Ditinjau dari hadis di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antar ketiganya sangat erat bagaikan sebuah pohon. Tidak dapat dipisahkan antara akar (Aqidah), batang (Syariat), dan daun (Akhlak).
2.      Keterkaitan Antara Aqidah, Syariah, Dan Akhlak
a.      Hubungan aqidah dengan syariat
Menurut Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah dan syariah menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang kemudian di atasnya dibangun syariat. Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat di dalam Islam, melainkan karena adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan berkembang, melainkan di bawah naungan akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa akidah laksana gedung tanpa fondasi.
Jika syari'at disebut sendiri, maka yang dimaksudkan adalah makna umum, yaitu agama Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika syari'at disebut bersama 'aqidah, maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan dalam masalah agama yang bukan 'aqidah (keyakinan).
Kalau seorang telah mengakui percaya kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, dan telah mengakui pula percaya kepada Rasul-rasul Utusan Tuhan, Niscaya dia bersiap-siap sebab dia telah percaya bahwa kelak dia akan berjumpa dengan Tuhan. Niscaya dia senantiasa berusaha di dalam hidup menempuh jalan lurus. Tak obahnya dengan orang yang mengakui diri gagah berani, dia ingin membuktikan keberaniannya ke medan perang. Seseorang yang mengakui dirinya dermawan, berusa mencari lobang untuk menafkahkan harta bendanya kepada orang yang patut dibantu. Seorang yang mengakui dirinya orang jujur, senantiasa menjaga supaya perkatannya jangan bercampur bohong.
Dengan demikian, maka 'aqidah dan syari'at merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan. Keyakinan inilah yang disebut dengan 'aqidah, dan amalan ini yang disebut syari'at. Sehingga iman itu mencakup 'aqidah dan syari'at, karena memang iman itu, jika disebutkan secara mutlak (sendirian) maka ia mencakup keyakinan dan amalan.
b.      Hubungan Aqidah dengan Akhlak
            Akidah tanpa akhlak adalah seumpama sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan tempat berlindung di saat kepanasan dan tidak pula ada buahnya yang dapat dipetik. Sebaliknya akhlak tanpa akidah hanya merupakan layang-layang bagi benda yang tidak tetap, yang selalu bergerak.
            Rasulullah SAW menegaskan bahwa kesempurnaan iman seseorang terletak pada kesempurnaan dan kebaikan akhlaknya. Sabda beliau: “ Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah mereka yang paling bagus akhlaknya ”. (HR. Muslim)
Dengan demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya iman dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari imannya yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai iman yang kuat; dan jika perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman yang lemah.  Muhammad al-Gazali mengatakan, iman yang kuat mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedang iman yang lemah mewujudkan akhlak yang buruk.
Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa iman yang kuat itu akan melahirkan perangai yang mulia dan rusaknya akhlak berpangkal dari lemahnya iman. Orang yang berperangai tidak baik dikatakan oleh Nabi sebagi orang yang kehilangan iman. Beliau bersabda :
الحياء والايمان قرناء جميعا فاذا رفع احدهما رفع الاخر (رواه الكاريم)
”Malu dan iman itu keduanya bergandengan, jika hilang salah satunya, maka hilang pula yang lain”. (HR. Hakim)
            Kalau kita perhatikan hadits di atas, nyatalah bahwa rasa malu sangat berpautan dengan iman hingga boleh dikatakan bahwa tiap orang yang beriman pastilah ia mempunyai rasa malu; dan jika ia tidak mempunyai rasa malu, berarti tidak beriman atau lemah imannya.
Aqidah dengan seluruh cabangnya tanpa akhlak adalah seumpama sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan tempat berteduh dari panasnya , matahari, atau untuk berlindung dari hujan, dan tidak ada pula buahnya yang dipetik . sebaliknya akhlak tanpa aqidah hanya merupakan bayang-bayang bagi benda yang tidak tetap dan selalu bergerak. Allah menjadikan keimanan (aqidah) sebagai dasar agama-Nya, ibadat (syariah) sebagai rukun (tiangnya). Kedua hal inilah yang akan menimbulkan kesan baik kedalam jiwa dan menjadi pokok tercapainya akhlak yang luhur.
 Akidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu menciptakan kesadaran diri bagi manusia untuk berpegang teguh kepada norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Keberadaan akhlak memiliki peranan yang istimewa dalam akidah Islam.
Islam menganjurkan setiap individu untuk berakhlak mulia, dan menjadikannya sebagai kewajiban di atas pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar ini, agama tidak memberikan wejangan akhlak semata, tanpa didasari rasa tanggung jawab. Bahkan keberadaan akhlak, dianggap sebagai penyempurna ajaran-ajarannya. Karena agama itu, tersusun dari akidah dan perilaku. Sebagaimana yang termaktub dalam hadits berikut: dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Orang Mukmin yang sempurna imannya adalah yang terbaik budi pekertinya,” (HR. Tirmidzi).
Dari hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak itu harus berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup disimpan dalam hati, namun harus dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak yang baik.
Dengan demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya iman dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari imannya yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai iman yang kuat; dan jika perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman yang lemah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa akhlak yang baik , merupakan mata rantai dari keimanan seseorang. Sebaliknya, akhlak yang dipandang buruk, adalah perilaku-perilaku yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Walaupun, secara kasat mata perilaku itu kelihatannya baik. Namun, jika titik tolaknya bukan karena iman, hal tersebut tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah. Perbuatan itu, diibaratkan seperti fatamorgana di gurun pasir.
c.      Hubungan syaraiah dan akhlak
Sebagai bentuk perwujudan  iman (Aqidah), akhlaq mesti berada dalam bingkai aturan syari’ah Islam. Karena seperti dijelaskan diatas, akhlaq adalah bentuk ibadah dalam rangka  mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan proses ibadah harus dilakukan sesuai dengan aturan mekanisme yang ditetapkan syariah, agar bernilai  sebagai amal shalih. Syariah merupakan aturan mekanisme dalam amal ibadah seseorang mukmin/muslim dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Melalui prantara syariah akan menghubungkan proses ibadah kita kepada Allah. Suatu amal diluar aturan mekanisme ibadah tidak bernilai sebagai amal shalih. Dan akhlaq menjadi sia-sia jika tidak berada didalam kerangka aturan syariah. Jadi, syaria adalah syarat yang akan menentukan bernilai tidaknya suatu amal ibadah.
Syariat menjadi standard ukuran yang menentukan apakah suatu amal-perbuatan itu benar atau salah. Ketentuan syariah merupakan aturan dan rambu-rambu yang berfungsi membatasi, mengatur dan menetapkan mana perbuatan yang mesti dijalankan dan yang mesti ditinggalkan. Ketentuan hukum pada syariat pada asasnya berisi tentang keharusan, larangan dan kewenangan untuk memilih. Ketentuan ini meliputi wajib, sunnah/mandub, mubah (wenang), makruh dan haram. Syariah memberi batasan-batasan terhadap akhlaq sehingga praktik akhlaq tersebut berada didalam kerangka aturan yang benar tentang benar dan salahnya suatu amal perbuatan (ibadah).
Jadi, jelas bahwa akhlaq tidak boleh lepas dari batasan dan kendali syariat. Syariat menjadi bingkai dan praktik akhlaq, atau aturan yang mengatasi dan mengendalikan akhlaq. Praktek akhlaq tidak melebihi apalagi mengatasi syariah, tetapi akhlaq harus lahir sebagai penguat dan penyempurna terhadap pelaksanaan syari’at. Sedangkan akhlaq yang tidak menjadi penyempurna pelaksanaan syariat adalah perbuatan batal. Jadi, kedudukan akhlaq adalah sebagai penguat dan penyempurna proses ibadah seseorang.
Dengan demikian, syariah berfungsi sebagai jalan yang akan menghantarkan seseorang kepada kesempurnaan akhlaq. Sedangkan akhlaq adalah nilai-nilai keutamaan yang bisa menghantarkan seseorang menuju tercapainya kesempurnaan keyakinan.
Sedangkan dalam Islam antara syariah dan akhlaq adalah dua hal sangat terkait erat, dimana yang satu (yakni syariat) menjadi dasar bagi yang kedua (akhlaq).
Bisa terjadi suatu pelaksana kewajiban menjadi gugur nilainya karena tidak disertai dengan akhlaq. Seperti kasus orang yang  ber infak di jalan Allah tetapi ketika dalam menyerahkan hartanya dilakukan sambil berkata-kata yang tidak baik, maka infak orang tersebut disisi Allah tidak bernilai sedikitpun karena terhapus oleh akhlaknya yang buruk. Meskipun dari segi aturan syariat ia telah melakukan kewajibannya dengan benar, tetapi secara nilai, ia diterima sebagai amal ibadah di sisi Allah swt.
Tetapi bukan berarti setiap pelaksanaan syariat yang tidak dilakukan dengan akhlaq yang baik akan menggugurkan nilai ibadah seseorang disisi Allah. Dalam kasus orang shalat tidak tepat waktu , tidak menjadi gugur nilai shalatnya, tetapi hanya mengurangi keutamaannya saja, atau mengurangi kekusyuan orang yang dibelakang shofnya karena terganggu oleh gambar pada bajunya. Tetapi itu tidak menggugurkan kewajiban shalatnya.
Ketetapan syariah adalah ketetapan hukum yang bersifat mutlak dan harus wajib ditaati, sedangkan akhlaq adalah nilai-nilai keutamaan  yang akan menyempurnakan  dan memperkuat pelaksanaan dan penegakan syari’at tersebut.  Jika dalam pelaksanaan syariat mesti sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat itu sendiri, maka akhlak tidak boleh keluar dari ketentuan-ketentuan tersebut. Meskipun bersifat keutamaan dan penyempurnaan dalam melaksanakan syariat, ini tidak berarti setiap ummat dapat melakukan atau tidak melakukannya. Karena seperti telah diterangkan diatas, bahawa akhlaq adalah perwujudan dari prose amal ibadah, sehingga seseorang ummat) dapat meningkatkan kualitas iman dan amal ibadahnya dengan akhlaq tersebut.
Selain itu antara syariat dan akhlaq dapat dibedakan dari bentuk dan jenis sanksi yang diberikan kepada pelanggar atau mereka yang tidak menjalaninya. Sanksi  bagi pelanggar syariat adalah sesuatu  yang jelas dan tegas sesuai dengan ketentuan dan ketetapan yang tertuang dalam syariat itu sendiri, dan semua ketetapan yang tertuang dalam syariat itu sendiri, dan semua ketetapan sanksi itu diputuskan  oleh lembaga yang berwenang (lembaga ‘ulil amri).
Sedangkan bagi yang tidak melakukan akhlak hasanah, tida ada sanksi yang ditetapkan oleh syariat… sanksi terhadap pelanggaran akhlak tidak ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, tetapi sanksi ini bisa diberikan baik oleh dirinya sendiri atau oleh lingkungan sosial dan masyarakatnya. Misalnya seorang yang menjalankan perintah puasa (saum ramadhan)  tetapi suka menggunjing dan menyakiti orang lain, berbohong, tidak menjaga seluruh anggota badan dari perbuatan keji, ia tetap tidak bisa dikenai sanksi hukum atas perbuatan-perbuatannya tersebut, tetapi hal itu akan mengurangi (ganjaran) keutamaan dalam puasanya, disamping itu akan     mendapat sanksi oleh dirinya sendiri atau lingkungan sekitarnya, seperti rasa penyesalan diri, gunjingan dari sesama, dikucilkan dari pergaulan, dan lain-lain.




















BAB III
PENUTUP

A.                KESIMPULAN
            Kaitan antara aqidah, syariat dan akhlak ialah bagaikan sebuah pohon, terdapat akar, batang dan daun, yang saling menyatu bila satu hilang atau rusak maka akan terjadi kehancuran untuk pohon tersebut.
            Aqidah merupakan pilar utama untuk menumbuhkan syariat dan akhlak. Tanpa aqidah, syariat dan akhlak yang baik akan menjadi percuma, atau pun sebaliknya. Rasulullah pernah menjelaskan tentang pegertian ketiganya ketika Jibril datang kepadanya sebagai seorang manusia.
            Rasulullah sangat menekankan hubungan antara ketiganya. Tidak boleh dilepas satu sama lain. Rasulullah menegaskan barang siapa meninggalkan syariat dan akhlak akan kehilangan keimanannya, ataupun sebaliknya. Dan Rasulullah menegaskan untuk memelihara ketiganya dalam tubuh seorang mukmin dan muslim.
B.                SARAN
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.












DAFTAR PUSTAKA

Dr. Asmaran As., M.A. 2002. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mahmud Syaltut, 1966.  Islam Aqidah wa Syariah, I, Kairo: Dar al-Kalam.
Prof. Dr. Hamka. 1982. Iman dan Amal Shaleh. Jakarta: Pustaka Panjimas
Muhammad al_Gazali, 1970, Khuluk al-Muslim, Kuwait: Dar al Bayan.
 _________________, 1970, Al Aqidah Islam, Kuwait: Dar al Bayan.
Abdul Al-Maududi, t.t., Towards Undestanding Islam, Jeddah: One Seeking Mercy of Allah
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1977, Al Islam I, Jakarta: Bulan Bintang


No comments :

BLOG HASMIRAH