Flaming Arrow Glitter Purple Winnie The Pooh Glitter

Monday 3 November 2014

IJTIHAD, STUDY ISLAM


IJTIHAD
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Syafe’i (2010: 97) menyatakan bahwa ijtihad menurut bahasa diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan) dan ath-thaqat (kesanggupan). Mubarok (2005: 3) definisi ijtihad menurut bahasa yang disusun oleh Ahmad Ibn Ahmad Ibn Ali al-Muqri al-Fayumi masih bersifat umum, yaitu pengerahan kemampuan dalam rangka menyelesaikan pekerjaan atau persoalan. Shiddieqy (1967: 200) sedangkan ijtihad menurut istilah adalah memberi segala daya kemampuan dalam usaha mengetahui suatu hukum syara.
            Nasrun mengatakan, “ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Untuk itu, para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad” (Rusli, 1999: 87). Effendi (2009: 249) Imam Syafi’i menyatakan ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis, dan untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran.
B.     Masalah
Dari uraian di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian ijtihad?
2.      Apa syarat-syarat ijtihad?
3.      Apa fungsi ijtihad?

C.    Tujuan
Tujuan penulisan dan pembahasan makalah ini, diantaranya:
1.      Agar mahasiswa mengetahui dan memahami pengertian ijtihad.
2.      Agar mahasiswa mengetahui dan memahami syarat-syarat ijtihad.
3.      Agar mahasiswa mengetahui dan memahami fungsi ijtihad.








PEMBAHASAN
TEORI
A.    Pengertian Ijtihad
            Amiur mengatakan, “ijtihad sebagai sebuah konsep yang menggambarkan usaha maksimal dalam penalaran, sehingga menghasilkan pendapat pribadi yang orisinil, dalam perkembangannya telah dibatasi dengan seperangkat pengertian” (Nuruddin, 1991: 51). Syafe’i (2010: 97) menyatakan bahwa ijtihad menurut bahasa diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan) dan ath-thaqat (kesanggupan).
            Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Mubarok bahwa definisi ijtihad secara bahasa yang disusun oleh Ahmad Ibn Ahmad Ibn Ali al-Muqri al-Fayumi yaitu pengerahan kemampuan dalam rangka menyelesaikan pekerjaan atau persoalan, tanpa mempertimbangkan kualitas (berat atau ringan) pekerjaan yang dilakukan atau persoalan yang diselesaikan. Oleh karena itu, Muhammad Salam Madkur mencoba melakukan pembatasan ruang lingkup ijtihad dengan mengubah arti ijtihad secara etimologi. Menurut Muhammad Salam Madkur, arti ijtihad secara etimologi adalah pengerahan kemampuan (mujtahid) dalam menyelesaikan sesuatu yang berat (Mubarok, 2005: 3).
Khallaf (2003: 317) ijtihad menurut istlah ushul adalah mengerahkan segala daya untuk menghasilkan hukum syara dari dalilnya yang rinci di antara dalil syara. Ash Shiddieqy (1967: 200) ijtihad menurut istilah ialah memberi segala daya kemampuan dan kesanggupan dalam usaha mengetahui sesuatu hukum syara dengan jalan dhan. Syafe’i (2010: 99) sedangkan menurut ulama ushul fiqih, ijtihad adalah aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara dari dalil terperinci dalam syariat. Dengan kata lain, ijtihad merupakan pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara (agama). Dalam istilah inilah, ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad itu bisa dilakukan di bidang fiqih. Al Rasyuni, (2006: 4) ijtihad pada hakikatnya adalah istilah lain dari wahyu, maka bukan dikatakan ijtihad jika terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.





B.     Syarat-syarat Ijtihad
            Rusli (1999: 87-94) ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Untuk itu, para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut Al-syaukani, untuk  dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat, yaitu pertama mengetahui Al-Quran dan sunah, kedua mengetahui ijma, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijma. Ketiga, mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari Al-Quran dan sunah secara baik dan benar. Keempat, mengetahui ilmu ushul fiqih  karena melalui ilmu inilah diketahui tentang dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Kelima, mengetahui naiskh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan) agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadis-hadis. Basyir (1996: 29-30) diantara banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan ijtihad, sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab ushul fiqihnya, yaitu:
1.        Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan masalah hukum, dalam arti mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2.        Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum, dalam arti sanggup membahas hadis-hadis tersebut untuk menggali hukum.
3.        Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukan oleh ijma, agar dalam menentukan hukum sesuatu  tidak bertentangan dengan ijma.
4.        Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbath hukum.
5.        Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
6.        Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab Al-Quran dan sunah sebagai sumber asasi hukum Islam, tersusun dalam gaya bahasa Arab yang sangat tinggi, di dalam ketinggian dan keunikan gaya bahasanyalah letak kemukjizatan Al-Quran.
7.        Memiliki pengetahuan mendalam tentang naiskh mansukh dalam Al-Quran dan hadis, agar dalam menggali hukum tidak mempergunakan ayat Al-Quran atau hadis Nabi yang telah di nasakh (hapus). 
8.        Mengetahui latar belakang turunnya ayat dan latar belakang suatu hadis, agar mampu menggali hukum secara tepat.
9.        Mengetahui sejarah para perawi hadis, agar dapat menilai suatu hadis, apakah dapat diterima ataukah tidak. Sebab penentuan derajat atau nilai suatu hadis bergantung pada ihwal perawi, yang lazim disebut sanad hadis. Tanpa mengetahui sejarah para perawi hadis, tidak mungkin ta’dil dan tarjih (penyaringan) dapat dilakukan.
10.    Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum (ushul fiqih), hingga mampu mengolah dan menganalisis dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan digali hukumnya.
Saebani (2008: 194-195) ra’yu digunakan sepenuhnya ketika berijtihad, sedangkan porsi ijtihad sebagai metode istinbath hukum dan penerapannya terdapat dalam dua masalah, yaitu masalah yang ada terdapat dalam dalil Al-Quran dan masalah yang tidak ada sama sekali dalam dalil Al-Quran. Karena pentingnya ra’yu dalam ijtihad, ulama ahli ushul dan fuqaha sepakat untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan berijtihad, yaitu:
1.        Mengetahui isi Al-Quran dengan seluk beluknya, baik dari sisi pengetahuan bahasanya atau makna-makna yang terkandung di dalamnya.
2.        Mengetahui As-Sunah, mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang hadis, sanad, rawi, dan matan.
3.        Mengetahui seluruh masalah yang hukumnya telah ditetapkan oleh ijma.
4.        Memahami dan mampu menerapkan metode istinbath.
5.        Mengetahui ilmu bahasa Arab dan seluk beluknya.
6.        Mengetahui kaidah-kaidah hukum Islam.
7.        Mengetahui prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.
8.        Memiliki akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.
C.    Fungsi Ijtihad
Effendi (2009: 249-250) selain pentingnya kedudukan ijtihad di samping Al-Quran dan sunah Rasulullah, ijtihad juga berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan sunah seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yag disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Al-Quran dan sunah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
PENUTUP
            SIMPULAN
            Syafe’i (2010: 97) menyatakan bahwa ijtihad menurut bahasa diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan) dan ath-thaqat (kesanggupan). Shiddieqy (1967: 200) ijtihad menurut istilah ialah memberi segala daya kemampuan dan kesanggupan dalam usaha mengetahui sesuatu hukum syara dengan jalan dhan. Syafe’i (2010: 99) sedangkan menurut ulama ushul fiqih, ijtihad adalah aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara dari dalil terperinci dalam syariat
Rusli (1999: 87-94) para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut Al-syaukani, untuk  dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat, yaitu pertama mengetahui Al-Quran dan sunah, kedua mengetahui ijma, ketiga mengetahui bahasa Arab, keempat mengetahui ilmu ushul fiqih, dan kelima mengetahui naiskh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan). Effendi (2009: 249) ijtihad memiliki fungsi untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir dan untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan sunah.
            ANALISIS
            Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga. Ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan dan kesanggupan untuk mencapai suatu hukum syara. Dalam melakukan ijtihad ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu mengetahui Al-Quran dan as-sunah lebih dalam, sehingga tidak ada keraguan untuk menetapkan sumber hukum yang berlandaskan Al-Quran dan as-sunah.
            Ijtihad memiliki fungsi untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan sunah seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yag disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Al-Quran dan sunah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.

No comments :

BLOG HASMIRAH